Kalender Arab (pra-Islam)
Oleh : Ibnu Muchtar
Sebelum kedatangan
Islam, masyarakat Arab sudah mengenal kalender. Namun kalender yang
dipergunakan adalah kalender campuran bulan-matahari. Peredaran bulan
digunakan, dan untuk mensinkronkan dengan musim dilakukan penambahan jumlah
hari. Praktek ini di dalam Alquran disebut an-nasiy. Dalam kalender ini,
pergantian tahun selalu terjadi di penghujung musim panas (sekitar bulan
September).
Bulan pertama dinamai
Muharram, karena di bulan ini seluruh suku di semenanjung Arab bersepakat
mengharamkan peperangan. Pada bulan kedua, sekitar bulan Oktober, daun-daun
mulai menguning. Karenanya, bulan ini diberi nama Shafar yang berarti kuning.
Di bulan ketiga dan keempat, bertepatan dengan musim gugur (rabi’).
Keduanya diberi nama bulan Rabi’ul awwal dan Rabi’ul akhir.
Januari dan Februari
adalah musim dingin atau musim beku (jumad), sehingga dinamai Jumadil
awwal dan Jumadil akhir. Di bulan berikutnya, Salju di Arab mulai mencair.
Karenanya, bulan ini dinamai dengan bulan Rajab. Setelah salju mencair, lahan
pertanian kembali bisa ditanami. Masyarakat Arab mulai turun ke lembah (syi’b)
untuk menanam atau menggembala ternak. Bulan in disebut bulan Sya’ban. Bulan
berikutnya, matahari bersinar terik hingga membakar kulit. Bulan in disebut dengan
bulan Ramadhan (dari kata ramadh yang berarti sangat panas).
Cuaca makin panas di
bulan berikutnya, hingga disebut dengan bulan Syawwal (peningkatan). Puncak
musim panas terjadi di bulan Juli. Di waktu-waktu ini masyarakat Arab lebih
senang duduk-duduk (qa’id), tinggal di rumah daripada bepergian. Bulan
ini diberi nama Dzulqa’dah. Di bulan keduabelas, masyarakat Arab
berbondong-bondong pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah Haji sehingga bulan
ini disebut dengan bulan haji atau Dzulhijjah. Sedangkan bulan ketigabelas
disebut dengan bulan Nasi’.
Pada waktu itu, belum
dikenal penomoran tahun. Sebuah tahun dikenal dengan nama peristiwa yang cukup
penting di tahun tersebut. Misalnya, tahun dimana Muhammad lahir, dikenal
dengan sebutan “Tahun Gajah”, karena pada waktu itu, terjadi penyerbuan Ka’bah
di Mekkah oleh pasukan gajah yang dipimpin oleh Abrahah, Gubernur Yaman (salah
satu provinsi Kerajaan Aksum, kini termasuk wilayah Ethiopia).
Era Kenabian
Pada era kenabian
Muhammad, sistem penanggalan pra-Islam tetap digunakan. Namun pada tahun ke-9
setelah Hijrah, turun ayat 36-37 Surat At-Taubah yang memerintah agar umat
Islam memakai kalender qamariyah yang murni dengan menghilangkan bulan nasi'.
Dengan turunnya wahyu
Allah di atas, Nabi Muhammad s.a.w. mengeluarkan dekrit bahwa kalender Islam
tidak lagi bergantung kepada perjalanan matahari. Meskipun nama-nama bulan dari
Muharram sampai Dzul-Hijjah tetap digunakan karena sudah populer pemakaiannya,
bulan-bulan tersebut bergeser setiap tahun dari musim ke musim, sehingga
Ramadhan (terik panas matahari) tidak selalu pada musim panas dan Jumadil-Awwal
(beku pertama) tidak selalu pada musim dingin
Penetapan Kalender
Pada periode
Rasulullah saw, kalender yang digunakan tidak berangka tahun. Jika seseorang
ingin menuliskan waktu transaksi, hanya ditulis: 14 Rajab. Tentu saja, hal ini
menimbulkan kerancuan, apakah yang dimaksud 14 Rajab tahun ini atau lima tahun
yang lalu?
Enam tahun setelah
wafatnya Rasulullah saw (tahun 17 H), Pada masa kekhalifahan Umar bin Khatab,
Gubernur Bashrah (Irak), Abu Musa al Asy’ari mengirim surat kepada Khalifah
Umar Bin Khatthab. Sebagian surat itu berisi saran agar membuat tarikh sendiri
dalam perhitungan tahun. Usul ini pun disetujui. Umar segera membentuk panitia
yang beranggotakan Umar, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin
Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, Talhah bin Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam. Panitia
kecil ini bermusyawarah untuk menentukan kapankah dimulainya tahun pertama:
- Tahun kelahiran Nabi saw (‘Am al Fil, 571 M), seperti kalender Masehi yang merujuk pada kelahiran Isa.
- Tahun turunnya firman Allah yang pertama (‘Am al Bi’tsah, 610 M).
- Tahun hijrah dari Makkah ke Madinah (‘Am al Hijrah, 622 M).
Akhirnya, disetujuilah
agar penanggalan Islam ditetapkan berdasarkan tahun hijrah Rasul dari Mekah ke
Madinah. Karena tahun pertama dimulai sejak peristiwa hijrah ke Madinah,
kalender ini kemudian populer disebut kalender hijriah.
Ketika para sahabat
sepakat menjadikan hijrah Nabi sebagai permulaan kalender Islam, timbul
persoalan lain di kalangan mereka tentang permulaan bulan pada kalender itu.
Ada yang mngusulkan Rabi’ul Awwal (sebagai bulan hijrahnya Rasulullah saw. ke
Madinah). Namun ada pula yang mengusulkan bulan Muharram. Namun akhirnya Umar
memutuskan bahwa tahun 1 Islam/Hijriah di awali dengan 1 Muharram bertepatan
dengan tanggal 16 Juli 622 M. Dengan demikian, antara permulaan hijrah Nabi dan
permulaan kalender Islam sesungguhnya terdapat jarak sekitar 82 hari.
Peristiwa penetapan
kalender Islam oleh Umar ini terjadi pada hari Rabu, dua puluh hari sebelum
berakhirnya Jumadil Akhir, tahun ke-17 sesudah hijrah atau pada tahun ke-4 dari
kekhalifahan Umar bin Khatab (13 – 23 H)
Kapan Rasulullah
Hijrah
Imam at-Thabari dan
Ibnu Ishaq menyatakan, “Sebelum sampai di Madinah (waktu itu bernama Yatsrib),
Rasulullah saw. singgah di Quba pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal tahun 13
kenabian/24 September 622 M waktu Dhuha
(sekitar jam 8.00 atau 9.00). Di tempat ini, beliau tinggal di keluarga Amr bin
Auf selama empat hari (hingga hari Kamis 15 Rabi’ul Awwal/27 September 622 M.
dan membangun mesjid pertama (yang disebut mesjid Quba). Pada hari Jumat 16
Rabi’ul Awwal/28 September 622 M, beliau berangkat menuju Madinah. Di tengah
perjalanan, ketika beliau berada di Bathni wadin (lembah di sekitar Madinah)
milik keluarga Banu Salim bin ‘Auf, datang kewajiban Jumat (dengan turunnya
ayat 9 surat al-Jum’ah). Maka Nabi salat Jumat bersama mereka dan khutbah di
tempat itu. Inilah salat Jumat yang pertama di dalam sejarah Islam. Setelah
melaksanakan salat Jumat, Nabi melanjutkan perjalanan menuju Madinah”. (Lihat,Tarikh
at-Thabari, I:571; Sirah Ibnu Hisyam, juz III, hal. 22; Tafsir
al-Qurthubi, juz XVIII, hal. 98).
Keterangan
tersebut menunjukkan bahwa Nabi tiba di
Madinah pada hari Jumat 16 Rabi’ul Awwal/28 September 622 M. Sedangkan ahli
tarikh lainnya berpendapat hari Senin 12 Rabi’ul Awwal/5 Oktober 621 M, namun
ada pula yang menyatakan hari Jumat 12 Rabi’ul Awwal/24 Maret 622 M.
Terlepas dari
perbedaan tanggal dan tahun, baik hijriah maupun masehi, namun para ahli tarikh
semuanya bersepakat bahwa hijrah Nabi terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal, bukan
bulan Muharram (awal Muharram ketika itu jatuh pada tanggal 15 Juli 622 M).
Kesimpulan
- penetapan bulan Muharram oleh Umar bin Khatab sebagai permulaan tahun hijriah tidak didasarkan atas pengagungan dan peringatan peristiwa hijrah Nabi. Buktinya beliau tidak menetapkan bulan Rabi’ul Awwal (bulan hijrahnya Rasul ke Madinah) sebagai permulaan bulan pada kalender Hijriah. Lebih jauh dari itu, beliau pun tidak pernah mengadakan peringatan tahun baru hijriah, baik tiap bulan Muharram maupun Rabi’ul Awwal, selama kekhalifahannya.
- Peringatan tahun baru hijriah pada bulan Muharram dengan alasan memperingati hijrah Nabi ke Madinah merupakan kesalahkaprahan, karena Nabi hijrah pada bulan Rabi’ul Awwal, bukan bulan Muharram.
Menyelenggarakan berbagai bentuk acara dan
upacara untuk menyambut tahun baru Hijriah tidak memiliki landasan hukum yang
kuat.
0 komentar:
Posting Komentar